Senin, 17 Januari 2011

Anatomi Korupsi

Oleh : Herdiansyah Hamzah
(Dosen di Fakultas Hukum - Universitas Mulawarman)

Ketika kita berbicara mengenai Indonesia, tentu kita tidak bisa lepas dari topik korupsi. Selama satu dekade belakangan ini, pemberitaan tentang korupsi hampir setiap hari menghiasi media cetak maupun elektronik. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga yang berbasis di Hongkong, membeberkan hasil survei yang menyebutkan Indonesia sebagai Negara paling korup di antara 16 Negara se-Asia Pasifik. Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei pada tahun 2010 ini. Nilai tersebut melonjak naik dari tahun sebelumnya dengan angka 7,69. Sedangkan, posisi kedua ditempati oleh Kamboja diikuti oleh Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. Mereka semua termasuk negara paling korup dalam survei, selain Singapura[1].

Membobol Pintu Korupsi

Jika kita memandang korupsi sebagai penyakit kronis, tentu saja tidak mudah untuk menyembuhkannya. Ibarat seorang dokter yang hendak menyembuhkan pasien dengan penyakit kronis, maka ketepatan dalam melakukan diagnosa serta mengurai sumber penyakit, adalah tahap awal yang harus dilakukan. Selanjutnya sang Dokter tentu saja harus mendalami dampak dan akibat penyakit, yang pada akhirnya dituntut untuk memutuskan obat apa yang tepat bagi si pasien. Begitu pula dengan pemberantasan korupsi, kita harus memahami anatomi korupsi terlebih dahulu. Mulai dari akar penyebab korupsi, bagaimana efek dan akibatnya, hingga metode pemberantasan yang efektif. Dengan demikian, penyakit kronis ini akan mampu teratasi sesuai dengan harapan[2].

Asal usul terjadinya budaya korupsi, memang masih menjadi perdebatan diberbagai kalangan. Alasan moralitas, ataupun gaji (salary) yang kecil, kerap kali dituding sebagai kambing hitam. Namun dibalik semua itu, salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “dominasi kekuasaan”. Bayangkan jika kekuasaan berjalan secara dominan dan tidak terkontrol, maka betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama wewenang dan jabatan. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan zaman Orde Baru, Soeharto. Dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menjarah uang rakyat, atas nama Negara dan pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah dan membahayakan stabilitas keamanan. Hakekatnya, kekuasaan yang tidak terbatas, akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap kepentingan mayoritas. Hal inilah yang menjadi faktor penting yang menyuburkan budaya korupsi[3].

Sejalan dengan hal tersebut, Robert Klitgaard[4] menjelaskan bahwa, “Illicit behaviour flourishes when agents have monopoly power over clients, when agents have great discretion, and when accountability of agents to the principal is weak. A stylizzed equation holds, Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability” (Perilaku haram berkembang saat pelaku memiliki kekuatan monopoli atas klien, ketika pelaku memiliki diskresi yang tidak terbatas, dan ketika akutabilitas pelaku kepada pimpinan lemah. Hal tersebut memiliki persamaan : korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi, minus akuntabilitas)[5]. Dari apa yang diutarakan oleh Klitgaard tersebut, maka ada 3 (tiga) aspek penting untuk memahami anatomi atau kerangka dasar mengapa korupsi bisa terjadi, yakni : adanya monopoli kekuasaan, adanya kewenangan atau diskresi[6] yang tidak terbatas, dan tidak adanya proses pertanggungjawaban yang jelas.

Inilah anatomi atau kerangka dasar korupsi, yang perlu kita pahami bersama. Korupsi sesungguhnya merupakan masalah sistemik, bukan sekedar masalah moralitas seperti anggapan kebanyakan orang. Mustahil korupsi mendapatkan pintu masuk tanpa adanya praktek monopoli kekuasaan yang disertai dengan kewenangan yang tidak terbatas. Jalan tersebut semakin lapang ketika upaya transparansi dan akuntabilitas tidak dindahkah. Sehingga partisipasi setiap warga masyarakatpun, menjadi tidak berjalan dalam upaya mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Masyarakat pada akhirnya dikunci dalam kebudayaan bisu (cuture silent), yang tidak dapat berbuat apa-apa, meski penyelewengan terjadi dimana-mana.

Melawan Korupsi

Karena korupsi merupakan masalah bersama, maka perlawanan terhadap korupsi juga harus dilakukan bersama. Kita tidak boleh semata-mata hanya meletakkan upaya perlawanan tersebut, kepada satu orang atau satu badan tertentu saja. Dari apa yang disampaikan sebelumnya, sangat jelas bagi kita, bahwa korupsi masuk melalui pintu kekuasaan yang tidak terbatas. Korupsi menjadi subur akibat dominasi dari segelintir orang terhadap mayoritas lainnya. Untuk itu, menghadapinyapun harus dilakukan dengan komitmen dan keberanian yang kuat. Tidak hanya terhenti dan menjadi buah bibir saja. Perlawanan terhadap korupsi harus diterjemahkan dengan lebih kongkrit, dengan sokongan dari berbagai pihak. Ada beberapa hal yang perlu ditekankan untuk melawan korupsi, antara lain :

Pertama, mencegah praktek dominasi kekuasaan. Secara umum, dominasi kekuasaan cenderung berbentuk kroni, atau yang sering kita istilahkan dengan oligarkhi. Dimana komposisi kekuasaan biasanya didominasi oleh kerabat, keluarga atau kekuatan politik tertentu berdasarkan garis keturunan dan pertemanan. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakseimbangan sistem (balance system) dalam mengelola pemerintahan. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan melalui praktek sistem pemerintahan yang demokratis. Artinya, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk duduk dalam sistem pemerintahan. Dengan demikian, dominasi kekuasaan ditangan segelintir orang, dapat dibatasi. Hal ini sejalan dengan amanah konstitusi dasar Negara kita. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D Ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Kedua, membangun sistem pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan. Tanpa adanya proses kontrol dan pengawasan yang ketat, maka peluang korupsi menjadi terbuka lebar. Akibatnya, hukum menjadi tidak berdaya dihadapan yang kuat, sehingga menimbulkan kerawanan dalam pennyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Lalu siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Apakah hanya menjadi tugas dari lembaga legislatif? Ataukah hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum, yaitu kejaksaan, kepolisian dan KPK? Tentu saja tidak. Partisipasi dan keterlibatan aktif dari seluruh komponen masyarakat, menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan terhadap pemerintah. Masyarakat harus diberikan keleluasaan dalam bergerak untuk mendata indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan jaminan bagi setiap orang untuk secara bebas memperoleh dan mempublikasikan data dan informasi secara terbuka. Tidak lagi dihantui dengan pasal karet, dengan tuduhan membocorkan rahasia negara, ataupun pencemaran nama baik.

Ketiga, mendorong akuntabilitas dan transparansi. Wacana pemerintahan bersih (clean and good goverment), ternyata hanya isapan jempol belaka. Keterbukaan dan pertanggung jawaban dari setiap penggunaan anggaran, masih menjadi barang langka. Begitu banyak kelompok dan kalangan yang kesulitan dalam mengakses data dari Pemerintah, khusunya terkait anggaran. Padahal proses keterbukaan dan pertanggung jawaban, menjadi bagian penting dalam menekan korupsi. Semakin terbuka proses pertanggung jawaban, maka semakin tipis pula peluang korupsi bisa terjadi. Memang benar bahwa keterbukaan tidak serta merta menjadi jaminan bahwa korupsi tidak akan terjadi. Namun upaya tersebut menjadi modal awal, bagaimana penggunaan anggaran dapat dipertanggung jawabkan secara terbuka dihadapan publik. Masyarakat luas harus diberikan akses data, mengingat para pejabat pemerintahan telah menggunakan uang negara, yang notabene adalah uang yang berasal dari rakyat sendiri.

Pada bagian akhir, kita sepatutnya membangun komitmen bersama, dan bahkan wajib terlibat aktif dalam upaya perlawanan terhadap korupsi. KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, tidak akan pernah berarti apa-apa tanpa sokongan yang kuat dari masyarakat luas. Memulai perlawanan tidaklah mudah, tapi akan jauh lebih sulit jika perlawanan hanya sebatas berhenti di mulut saja.

Catatan Kaki :

[2] Herdiansyah Hamzah, dalam artikel “Korupsi dan Nasib KPK”. Referensi pribadi.
[3] Herdiansyah Hamzah, dalam artikel “Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia”, dipublikasikan oleh website Kormonev Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Sumber : http://kormonev.menpan.go.id/?menuTab&mod=addOnApps%2Fnews%2FdetailNews&idBerita=2051&bulan=4&tahun=2010&idKategori=defaultNews&page=1.
[4] DR. Ulul Albab, MS, dalam artikel yang berjudul “Model Anti Korupsi Becker dan Klitgaard”, hal. 4. Diakses melalui website www.unitomo.ac.id.
[5] Terjemahan bebas oleh penulis.
[6] Diskresi atau yang lebih dikenal denan asas “discresional principle”, merupakan bentuk kewenangan Pemerintah di dalam mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan tertentu, meski keputusan tersebut melanggar peraturan yang lebih tinggi.