Senin, 30 Agustus 2010

Membumikan Hukum Sebagai Jembatan Keadilan

Oleh : Herdiansyah Hamzah (Dosen di Fakultas Hukum - Universitas Mulawarman)

Pada hakekatnya hukum merupakan penceminan dari jiwa dan pikiran rakyat (volkgeist). Konstitusi dasar Negara kita, secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hukum (Rechtstaats). Salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (fundamental rights).

Namun situasi dan kondisi Negara kita hari ini, justru semakin menjauhkan masyarakat (terutama masyarakat miskin) dari keadilan hukum (justice of law), serta hak dasar lainnya di bidang ekonomi, social dan budaya (ekosob). Masyarakat miskin, marginal, terpinggirkan dan yang sengaja dipinggirkan, belum mempunyai akses secara maksimal terhadap peradilan dan keadilan.

Keterbatasan tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sistem peradilan, sistem peradilan yang belum transparan dan akuntabel serta birokrasi peradilan yang mahal dan berbelit-belit.

Problematika penegakan hukum di Indonesia, memang telah menjadi buah bibir di tengah masyarakat kita. Ucapan-ucapan miris masyarakat seperti, “Hukum Hanya Menjadi Milik Mereka Yang Berduit”, menjadi wajar jika kita menyimak lebih jauh dan mendalam kasus-kasus hukum yang terjadi belakangan ini. Begitu mudahnya para pejabat lepas dari jeratan hukum, menjadikan masyarakat kita semakin apatis dan tidak percaya dengan lembaga-lembaga serta aparatur hukum yang ada, baik polisi, jaksa, hakim hingga advokat. Penegakan hukum (law inforcement), menjadi sebuah pekerjaan rumah yang terasa sangat sulit untuk dilakukan. Masyarakat toh pada akhirnya berpikir, hanya akan menjadi obyek terhadap kasus yang dihadapinya, yang tentunya berimplikasi terhadap hak-hak mereka. Sementara pada sisi lain, institusi peradilan kita, justru semakin mematikan upaya masyarakat dalam meraba dan mencari keadilan dalam ranah hukum yang seharusnya layak untuk didapatkan oleh mereka, seolah-olah lembaga peradilan berada di ruang kosong dan hampa.

Masyarakat pada akhirnya justru semakin enggan, bahkan tak sedikit yang muak dan jenuh untuk memperjuangkan nasib dan kepentingannya melalui jalur hukum. Hal ini terjadi karena materi hukum yang tidak responsif dan hanya menguntungkan segelintir orang yang kita sebut sebagai “orang berduit” saja. Disamping itu, intervensi pejabat atau kekuatan politik tertentu serta integritas aparat penegak hukum yang masih sangat lemah, juga menjadi kendala utama yang semakin membuat hukum tak ubahnya seperti “Macan Ompong”. Keadilan kemudian menjadi sesuatu yang mahal (lux), eksklusif dan formalistik, jauh dari masyarakat marjinal. Akibatnya, akses masyarakat terhadap keadilan hukum masih sangat jauh, masyarakat dibatasi oleh pengetahuan hukum dan keterampilan advokasi yang minim, biaya berperkara yang mahal, serta prilaku bikrokasi peradilan yang korup.


Hukum dan Keterasingan

Sebagaian masyarakat kita yang selalu berujar bahwa, “seorang pencuri ayam, 1000 kali lipat jauh lebih mudah ditangkap dibanding seorang koruptor kelas kakap”, adalah hal yang wajar dan berlandaskan fakta. Mungkin ungkapan ini terkesan usang dan kuno, namun mengandung pesan tersirat yang begitu dalam bagi potret penegakan hukum di Negara kita, khususnya di Kaltim. Betapa tidak, jika kita berkaca pada sejumlah kasus-kasus hukum, terkhusus soal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat elit, maka kita akan merasa, kalau hukum tidak berarti apa-apa bagi mereka. Ada beberapa hal yang menyebabkan fenomena ini terjadi, antara lain ;

Pertama, hukum telah menjadi barang dagangan yang dapat diperjual belikan kepada siapa saja. Hal ini memang telah menjadi tradisi yang mengakar, dan sengaja dibangun oleh pemerintah sejak zaman kolonial, hingga saat ini. Budaya sogok-menyogok perkara dan jual-beli kebebasan, telah menjadi hal yang biasa bagi yang bermasalah dengan hukum. Ini juga tergantung siapa, dan seberapa besar nominal rupiah yang ditawarkan. Coba anda perhatikan seorang pejabat yang terkena jeratan hukum, jauh lebih tenang jika dibandingkan dengan masyarakat awam. Kenapa ? karena mereka merasa mampu membeli dan mempermainkan institusi peradilan kita. Hukum masih terlalu mendewakan “Harta dan Kekayaan”, daripada esensi keadilan yang semestinya ditegakkan.

Kedua, hukum diposisikan sebagai sub-ordinat dari kekuasaan. Penguasa cenderung membentengi dirinya dengan aturan-aturan hukum yang tentu akan mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan kelompok dan golongannya sendiri. Logika yang kemudian bermain adalah, “apakah mungkin seorang maling mengadili sesama maling???”, “apakah mungkin pula seorang penjahat menjerat penjahat lainnya?”. Bisa jadi maling memiliki kode etik sendiri yang melarang sesamanya untuk saling menangkapi. Wajar saja jika koruptor-koruptor kakap hingga hari ini tidak pernah tersentuh oleh hukum. Kalaupun ada, kasus mereka-pun terkesan hanya sekedar sandiwara yang lama-kelamaan akan dikaburkan begitu saja dengan alasan tak cukup bukti atau alasan lainnya yang tak masuk akal (absurdities of law).


Membumikan Hukum

Hukum pada dasarnya merupakan petunjuk hidup dalam bentuk aturan tertulis bagi masyarakat. Ibarat alkitab, hukum merupakan Al Qur’an bagi ummat Islam, Injil bagi ummat Kristen, Zabur bagi ummat Hindu, atau Wedana bagi ummat Budha. Hukum dilahirkan dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat, untuk itu hukum tidak boleh dimonopoli, diproduksi dan dibentuk sedemikian rupa hanya untuk dikonsumsi dan menjadi komoditas bagi kalangan tertentu saja demi kepentingannya semata.

Kedepan, pemerintah seharusnya lebih pro-aktif memperluas akses masyarakat miskin terhadap sistem peradilan dan keadilan. Bentuk konkretnya antara lain, terus mendorong adanya sistem peradilan dan keadilan yang dapat diakses masyarakat kebanyakan: cepat, sederhana dan biaya ringan. Dengan demikian, ada tiga prinsip utama yang harus menjadi pertimbangan dalam sebuah proses hukum, antara lain :

Pertama, karena pada dasarnya hukum merupakan proses sosial yang berbasis kepada kpentingan kolektif, maka harus dibuka peluang yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat dari semua lapisan dalam proses pembentukan dan perumusan aturan-aturan hukum. Tanpa keterlibatan masyarakat dalam pembentukan aturan-aturan hukum itu, maka masyarakat tak ubahnya dijadikan objek penderita semata yang dirugikan oleh kebijakan dan aturan yang dibuat bukan untuk dirinya.

Kedua, dalam penerapan hukum oleh lembaga formal, pejabat hukum formal tidak semata-mata berpedoman pada pasal-pasal peraturan tertulis, melainkan harus terus-menerus menggali jiwa hukum dan rasa keadilan yang berkembang dalam suatu masyarakat.

Ketiga, perlu adanya kebebasan yang diberikan kepada masyarakat luas, baik kepada personal, ormas, NGO/LSM, Akademisi dll, dalam upaya bergerak melakukan pendataan serta mengkampanyekan secara terbuka mengenai pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi, tanpa mengenal jabatan, kedudukan dan struktur dari orang atau institusi yang melakukan pelanggaran.

Keempat, dalam proses peradilan sebagai media penegakan hukum, paradigma yang harus dikembangkan dan digali adalah konsep penerapan prinsip keadilan dan kejujuran para penegak hukum (fair trial), sebagai pedoman pelaksanaannya. Masih banyak terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk di kalimantan Timur sendiri, yang sering kali dilakukan aparat penegak hukum itu sendiri. Padahal, Konstitusi dan Undang-Undang telah dengan tegas mewajibkan proses peradilan yang adil, terkecuali bagi siapa pun. Perintah peraturan perundang-undangan tersebut memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara melalui proses peradilan yang adil tanpa ada kecualinya.

Jika konsepsi dasar dari konteks hukum dan peradilan kita tidak mampu dibenahi sekarang juga, maka pantaslah jika kita menyebut keadilan hukum sebagai “surga telinga”, yang hanya terdengar indah ditelinga, namun fakta empirisnya-nya begitu tak sedap dan tak nyaman dihati masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar