Senin, 20 September 2010

Indonesia-Malaysia Review

Oleh : Bagus Utoyo Kertoprojo(*)

Mengamati dinamika hubungan diantara dua bangsa dan negara serumpun, Indonesia-Malaysia, seakan tidaka akan pernah menemui titik jenuh. Dinamisnya hubungan kedua bangsa ini dimulai sejak masa lampau ketika Kerajaan Sriwijaya berkuasa di belahan barat Nusantara yang berhasil menguasai pulau Sumatera, semenanjung Malaya, serta sebagian kecil pulau Jawa dan Kalimantan. Etnis Melayu yang sekarang ada di semenanjung malaya diperkirakan merupakan keturunan etnis Melayu yang ada di pulau Sumatera, hal ini dapat diketahui dari beberapa kesamaan budaya yang ada di kedua daerah ini, seperti Pencak Silat, bahasa dan beberapa jenis kuliner.

Tenggelamnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya di belahan barat Nusantara digantikan oleh terbitnya surya Majapahit dari Nusa Dwipa (Pulau Emas, nama lain pulau Jawa) dan berhasil mempersatukan Nusantara Raya melebihi pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Luas wilayahnya melebihi luas wilayah Indonesia saat ini yang dianggap secara de facto dan de jure adalah negara penerus kedua kerajaan itu.

Interaksi kedua masyarakat serumpun ini diperkuat pula dengan semangat keagamaan yang serupa diantara keduanya yang sama-sama mayoritas muslim. Namun, perbedaan diantara keduanya segera menyeruak keluar. Indonesia yang masyarakat muslimnya lebih moderat tidak memaksakan keinginan untuk membentuk negara islam ditengah masyarakatnya yang sangat majemuk, sedangkan Malaysia yang masyarakat muslimnya lebih konservatif saat ini sedang berada dalam kebimbangan mengenai bentuk negara yang ingin diterapkan. Di satu sisi Mahkamah Federal menjalankan hukum sekuler dan Mahkamah Syariah pula menjalankan hukum islam.

Pemanis Rasa
Hubungan yang terbina sejak masa lampau itu juga meninggalkan jejaknya hingga kini, berupa keberadaan komunitas-komunitas aceh, bugis, jawa, sunda dan lainnya di semenanjung malaya. Komunitas yang meninggalkan daerah asalnya tersebut berusaha untuk tidak kehilangan akar budayanya dengan tetap mempertahankan ciri-cirinya. Hingga timbullah konflik berupa sengketa budaya diantara dua bangsa serumpun ini.

Sengketa budaya ini menyebabkan hubungan bilateral kedua negara mendidih hingga membuat masyarakat Indonesia kepanasan dengan aksi nekad Malaysia yang terus menerus memperolok Indonesia dengan mengklaim satu-persatu budaya daerah milik bangsa Indonesia. Dimulai dengan ulah Malaysia yang mengklaim lagu daerah Maluku, Rasa Sayange, Keris, Reog Ponorogo, Tari Pendet, hingga puncaknya Batik yang notabene merupakan budaya asli dari Indonesia yang kini sudah diakui UNESCO sebagai Intangible World Heritage dari Indonesia bersama dengan Keris.

Sengketa budaya yang terjadi hanyalah “pemanis” dari serangkaian peristiwa yang semakin memperparah keadaan. Penyiksaan, pelecehan seksual, dan pelanggaran terhadap pemenuhan hak-hak TKI yang dikirim ke Malaysia oleh segelintir oknum majikan biadab, pemukulan wasit resmi pertandingan olahraga karate internasional di Negeri Sembilan yang berasal dari Indonesia oleh oknum polisi setempat, penghinaan terhadap anggota keluarga diplomat terakreditasi Republik Indonesia di salah satu penerbangan nasional malaysia, pencurian ikan dan pembalakan hutan didalam wilayah kedaulatan RI, hingga lepasnya dua pulau di wilayah propinsi Kalimantan Timur, Sipadan-Ligitan.

Siap Meletup
Puncaknya, ketika malaysia mengklaim (lagi) wilayah perairan Ambalat yang diperkirakan mengandung kekayaan setara dengan dua ribu triliun rupiah. Tindakan pelecehan ini dianggap deklarasi perang oleh sebagian rakyat Indonesia dan semakin diperparah dengan tajamnya sorotan lensa kamera Indonesia. Tindakan sepihak itu memancing rasa nasionalisme rakyat yang berbondong-bondong mendirikan posko relawan tempur di seluruh wilayah tanah air dengan memanfaatkan retorika Bung Karno saat mengumumkan dwikora, "ganyang Malaysia", yang siap mati demi sejengkal tanah-air ibu pertiwi.

Sementara, pemimpin kedua negara masih berusaha mengedepankan dialog, perundingan, dan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa perbatasan dan pemilikan wilayah Ambalat. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan pemimpin kedua negara, tentang pentingnya menuntaskan sengketa tersebut dengan cara-cara bermartabat.

Persoalannya saat ini, di antara dua opsi tersebut, pilihan mana yang lebih tepat untuk dilakukan oleh kedua pihak bersengketa ? Penyelesaian melalui jalur diplomasi, sepertinya akan lebih elegan, bermartabat dan sesuai dengan kondisi saat ini. Mengingat zaman telah berganti, hubungan antarbangsa telah berkembang menuju hubungan yang lebih mengedepankan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan, dan mungkin ketakutan akan sia-sianya pencapaian yang telah dilakukan oleh dua negara. Oleh sebab itu, perang yang berdarah dan kejam tidak lagi menjadi solusi populer dalam penyelesaian konflik antarbangsa, walaupun tetap dipertimbangkan sebagai jalan terakhir. Penyelesaian sengketa wilayah Ambalat melalui konfrontasi militer akan merugikan kedua belah pihak, yang tidak saja secara politik tetapi juga di bidang ekonomi dan sosial-psikologis.

Secara politik, citra Indonesia sebagai problem solver akan rusak karena selama ini dianggap sebagai negara yang selalu mengusahakan cara-cara damai atau soft power, paling tidak di antara negara-negara anggota ASEAN. Indonesia adalah salah satu dari 5 (lima) pendiri ASEAN, di mana ASEAN didirikan dengan tujuan menghindari konflik, maka cara-cara penyelesaian konflik melalui jalan konfrontasi militer dapat menjatuhkan citra Indonesia di kawasan ASEAN bahkan dunia internasional. Di kancah internasional, perang Indonesia-Malaysia justru akan memperparah kondisi percaturan politik dunia. Negara-negara islam, Rusia, Cina, Amerika dan sekutunya akan kebingungan untuk memihak.

Secara ekonomi, kedua negara akan mengalami kerugian. Kedua belah pihak akan memusatkan anggarannya untuk biaya berperang dan sekitarnya, sedangkan biaya itu jika dalam keadaan damai dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai sektor lain. Rusaknya sarana prasarana yang selama ini telah dibangun, pariwisata yang mundur, inflasi, kelaparan, belum lagi masalah TKI, dimana kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama kuat. Bagi Indonesia, TKI adalah sumber devisa dari pengiriman uang yang dilakukan para TKI untuk keluarga mereka di Indonesia, sementara ekonomi Malaysia tidak dapat dinafikkan sangat bergantung kepada keberadaan TKI sebagai motor penggerak peekonomian Malaysia. Ditambah dengan kacaunya perdagangan di selat malaka, yang merupakan jalur perdagangan tersibuk didunia. Dimana selat malaka sebagian besar dalam penguasaan kedua negara

Secara sosial-psikologis. Pengalaman berkonfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an juga telah memberikan pengalaman traumatis bagi sebagian warga Indonesia terutama pada masyarakat perbatasan. Namun, keinginan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur konfrontasi masih dapat dimaklumi. Pertama, lepasnya wilayah Timor-Timur setelah refrendum dari pangkuan ibu pertiwi dan gagalnya upaya hukum di Mahkamah Internasional atas perebutan Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia pada tahun 2002 menjadi pengalaman berharga bagi Indonesia agar tidak terjadi lagi untuk yang ketiga kalinya. Kedua, serentetan peristiwa “pemanis” yang terjadi sebelumnya turut memperdalam sentimen anti-Malaysia dan semangat nasionalisme membara untuk berperang.

Maling ditukar Abdi Negara
Setelah sengketa Ambalat mereda (belum selesai), Malaysia kembali berulah luarbiasa dengan menangkap bahkan menembaki petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memergoki nelayan asal Malaysia yang sedang mencuri ikan didalam wilayah kedaulatan RI. Polis Diraja Malaysia yang tiba sesaat setelah Petugas KKP menangkap dan menembaki mereka diwilayah yurisdiksi milik tertangkap (baca : Petugas KKP). Bagaimana hal ini tidak membuat hubungan bilateral kedua negara kembali memanas ?, 3 (tiga) orang Abdi Negara ditangkap dan ditembak diwilayah yang menjadi yurisdiksi mereka kemudian para Abdi Negara tadi ditukar pula oleh 7 (tujuh) orang maling ikan yang ditangkap beberapa bulan sebelumnya.

Hal, ini tentu saja semakin memperparah suasana yang ditambah dengan pernyataan Perdana Menteri Malaysia yang seperti mengajak duel. Namun, dibalas dengan pernyataan yang justru merendah di tempat yang sangat berwibawa seperti Cilangkap.

(*: Mahasiswa dan Kepala Departemen Riset dan Edukasi LKISH Fakultas Hukum-Universitas Mulawarman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar